Perkembangan era digital semakin menyeringai keseharian masyarakat, belum lagi dengan berbagai istilah yang biasa disebut era 4.0 atau bahkan sudah memasuki 5.0 “katanya”. Tak hanya masyarakat yang harus dipaksa untuk memutar ide dan gagasan baru untuk bertahan, namun juga dunia media massa yang nyatanya tertimpuk pula oleh era digitalisasi.
Media massa hadir dengan tujuan sederhana untuk memberitakan informasi kepada masyarakat, meski begitu cara kerjanya tak sesederhana tujuan. Sekitar 1744, surat kabar hadir di Indonesia melalui pengaruh tajam pemerintahan Belanda, yang kala itu diketuai oleh Gubjen Van Imhoff.
Sejalannya waktu, surat kabar semakin memamerkan fungsinya, lembaran demi lembaran tercetak dengan masifnya dalam waktu bersamaan, menjangkau lini masyarakat. Bahkan surat kabar menjadi tolak informasi para pahlawan Indonesia terhadap penjajah, hingga akhirnya kemerdekaan pun tersebar melalui lembaran kertas abu tersebut.
Dunia media massa atau jurnalisme nampaknya sangat menggantungkan diri dengan surat kabar, sampai akhirnya internet masuk dengan halusnya pada 1990-an. Membawa dampak yang mempermudah lagi mempersingkat waktu untuk menerima informasi terbaru.
Namun, siapa sangka hal itulah yang kemudian menumbuhkan cikal bakal pergumulan dalam dunia jurnalistik. Media massa dengan spontan memutar haluan untuk beradaptasi dengan pola konsumsi masyarakat baru, termasuk media cetak seperti surat kabar.
Era digital perlahan menggerus media konvensional, bermula dari perubahan perilaku publik yang melihat media massa hingga memaksa hadirnya media daring (online). Sejumlah perusahaan pers yang berbasis cetak pun mulai melahirkan e-paper atau e-magazine.
Hal ini selaras dengan survei Nielsen Consumer & Media View pada 2017 silam. Seperti yang dikutip dari Kompasiana, menyatakan adanya perubahan terhadap kebiasaan membaca masyarakat Indonesia. Dimana media cetak jatuh pada pilihan kelima di mata masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Sedangkan untuk urutan media cetak, koran masih unggul dengan presentasi 83%, dibandingkan dengan majalah dan tabloid. Mayoritas pembaca media cetak merupakan masyarakat berusia 20-49 tahun.
Data ini mencerminkan bagaimana perubahan gaya membaca masyarakat Indonesia yang beralih dari cetak ke online. Pada 2013 angka pembaca di Indonesia dapat mencapai 9,5 juta sedangkan pada 2017 silam mengalami penurunan dengan jumlah pembaca 4,5 juta.
Angka tersebut belum terhitung dengan badai Covid-19 yang menghempas pada 2020 silam. Pandemi tersebut berhasil memutar pola hidup hingga pikir masyarakat, menjadikan digitalisasi untuk dewasa lebih awal.
Meski hadir dalam bentuk digital, nyatanya tak semua media mampu bertahan. Penyebabnya, selain gaya hidup masyarakat yang memilih untuk mengakses sosial media, aturan media online yang dipaksakan memberitakan sesuatu dengan cepat dan massif juga menjadi faktor menguat.
Seperti pada media online, berita-berita yang penting dan harus segera diberitakan, dapat lebih cepat dijangkau pembaca. Pembacanya juga lebih luas dan merata, dibanding koran cetak yang harus menunggu proses pencetakan dan distribusi yang lebih lama.
Menurut Serikat Perusahaan Pers (SPS) pada 2019, media cetak Indonesia sudah mengalami penurunan cetak sejak 2014. Pada 2014, masih tercatat ada 1.321 media cetak. Angka tersebut kian menyusut hingga 644 pada 2019 silam.
Berkaca pada negara lainnya, Amerika juga mencatat total surat kabar sebelumnya dapat dicetak rata-rata 31 hingga 63 juta, sedangkan pada 2006 mengalami penurunan drastis ke angka 39,210. Sedangkan di Inggris, sejak 2015 sudah mengalami pengikisan hingga 30%.
Persentase tersebut terus bertambah hingga kini, bahkan media besar seperti The Guardian sudah memberhentikan media cetak mereka. Sedangkan media seperti The Sun hanya mencerak surat kabar mingguan.
Mengutip situs journalism.org, setiap tahunnya jumlah orang membeli surat kabar semakin berkurang. Bahkan hanya 50% masyarakat dengan usia 65 tahun keatas yang membeli sekaligus berlangganan surat kabar. Hal ini kembali lagi dengan generasi muda seperti milenial dan gen z yang tertarik dengan media daring dan sosial media.
Meskpi begitu, tantangan dunia jurnalistik tak berhenti sampai disana. Para jurnalis di media digital juga harus mampu menyajikan berita yang dapat dipercayai kebenarannya oleh pembaca, karena massif dan cepatnya informasi yang beredar sulit membedakan berita bohong.
Untuk itu, peran media massa sangat krusial sebagai penyadu yang dapat dipercaya dan berkualitas, tak hanya aktulitas saja. Seperti yang dikutip dari laman Liputan6, Dirjen IKP Kemenkominfo, Usman Kansong mengatakan “Di era disrupsi digital, salah satu tantangan yang dihadapi adalah jurnalisme instan atau instant journalism.
Jurnalisme instan itu adalah jurnalisme yang mengutip begitu saja sumber informasi misalnya dari media-media sosial. Hal lainnya adalah tentu saja munculnya hoaks,” ujarnya.
Sementara menurut Dwi Eko (Lucky) Lokononto anggota Badan Pertimbangan dan Pengawas Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), jurnalis di era digital seharusnya bisa berkarya dan berkembang lebih cepat dibandingkan jurnalis di era Lucky dulu.
“(Jurnalis) mencari referensi ide untuk dikembangkan bisa lebih mudah karena dunia sudah dalam genggaman. Artinya, jurnalis punya keleluasaan yang luar biasa untuk menghasilkan produk jurnalistik lebih dalam datanya dan punya makna bagi pembaca,” jelasnya.
Hal inilah yang kemudian menghadirkan istilah jurnalisme data, yang berfungsi untuk menguatkan berita dengan dan angka faktual. Tentunya hal ini akan memperkuat isi berita, biasanya jurnalisme data disajikan melalui sentuhan visual yang menarik berupa infografis, tabel dan sebagainya.
Memulai dari sebuah tulisan hitam putih dalam lembaran kertas abu, kini keberadaan surat kabar hampir tak pernah nampak batang hidungnya. Apalagi dikalangan generasi milenial dan gen Z yang selalu dicekoki oleh berjuta warna – warni informasi yang cepat lagi ringan.
Namun, hal tersebut tidak menangguhkan media massa. Yang mana tak hanya hadir sebagai pusat informasi semata, melainkan memiliki peran penting dalam menyebarkan gambaran yang seimbang. Baik melalui sudut pandang mengenai urusan nasional, demokrasi maupun kontribusi terhadap pertumbuhan literasi.
(DEAS)
https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2022/berita-seragam-jadi-tantangan-jurnalis-di-era-digital/
Comments